Fahmi Hakim, Ketua DPRD Banten saat menjadi Keynote Speaker Seminar Nasional Unbaja Kota Serang.


Sekarang bayangkan mau transfer, beli makanan, belanja, belajar ada digenggaman yaitu smartphone. Ini perubahan luar biasa yang menjadi pisau bermata dua.

Indonesia memang beruntung karena mendapatkan bonus demografi, dimana penduduk usia produktif jumlahnya lebih banyak daripada penduduk yang usianya tidak produktif.

Tapi pada saat bersamaan kita juga dihadapkan pada ancaman generasi strawberry atau generasi manja, tidak tahan banting, tidak tahan kritik meski dari sisi kreativitas generasi ini luar biasa.

Dua hal ini mesti kita sama-sama anggap penting karena datang disaat bersamaan. Satu sisi potensi sisi lain juga renungan.

Inilah yang saya sampaikan saat menjadi Keynote Speaker pada Seminar Nasional di Universitas Banten Jaya (Unbaja) Kota Serang. Ada kurang lebih 300 pelajar dan mahasiswa yang hadir dan mereka adalah generasi yang menjadi pelaku sejarah di dua kutub itu, kutub bonus demografi dan kutub generasi strawberry.

Salah satu yang menyebabkan lahirnya istilah generasi strawberry adalah kehadiran teknologi yang telah merubah gaya hidup. Sekarang bayangkan mau transfer, beli makanan, belanja, belajar ada digenggaman yaitu smartphone. Ini perubahan luar biasa yang menjadi pisau bermata dua.

Saya sendiri sebagai generasi 70-an merasakan betul perubahan yang sekarang terjadi, sangat berbeda jauh dengan kehidupan di era 70 dan 80-an. 

Sebagai Ketua DPRD Banten sekaligus orangtua saya  punya kepentingan soal ini karena bagaimanapun generasi sekaranglah yang akan mengelola Banten dimasa mendatang.

Maka dari itu saya berharap pelaku pendidikan, guru dan dosen di lembaga pendidikan mengkaji tentang ini agar dimasa mendatang kita bisa memanfaatkan bonus demografi dengan optimal sehingga kelahiran generasi strawberry bisa diminalisir.



Selain manja, ada hal serius juga yang perlu mendapatkan perhatian dari pelaku pendidikan, dimana generasi sekarang mampu berkomunikasi dengan dunia luar tetapi gagal berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Makanya mereka mudah stres, depresi dan putus asa karena ketidakmampuan berbicara dengan dirinya sendiri ketika dihadapkan pada persoalan kehidupan yang real. Ini menjadi catatan serius yang harus dikaji pula agar kita bisa melihat generasi kedepan memiliki mental tangguh dan punya daya tahan yang kokoh sehingga bisa menghadapi problematika yang rumit.